Ketika Harus Berdamai Denganmu (Hari TB Sedunia – 24 Maret)
Bekantan TB Kalsel – Ini kali kedua juga saya menuliskan tentang Tuberkulosis dalam rangka Hari TB Sedunia dari sudut pandang seorang Survivor.
Orang akan susah memahami tentang Tuberkulosis jika memang dia tidak berkecimpung di dalamnya atau tidak mengalaminya sendiri. Begitu masih awamnya mayoritas masyarakat kita tentang Tuberkulosis di era yang bisa dibilang sangat modern ini. Bahkan dari sisi tenaga kesehatan sekalipun. Masih kentalnya dengan mitos-mitos usang yang tak kunjung usai seperti TB itu penyakit guna-guna, penyakit keturunan, TB akan menular sepanjang waktu sehingga pasiennya harus dijauhi dan didiskriminasi serta di stigmatisasi dan lain sebagainya.
Siapa juga yang mau sakit TB? Tentunya tidak ada yang akan mau, mengingat betapa panjangnya durasi pengobatan yang tak cukup harian tetapi harus bulanan bahkan tahunan. Sekali kita terkena TB tentunya harus siap “teken kontrak” untuk menyelesaikan pengobatan sekian bulan bahkan sekian tahun.
Mayoritas dari masyarakat tentunya masih menganggap TB itu hanya sebatas TB Paru saja. Dan menularnya sepanjang pengobatan. Padahal hal itu salah. TB itu berdasarkan organ yang diserang ada TB Paru dan TB Extra Paru. Dimana TB Extra Paru ini tidak menular, alias kuman berada di dalam tubuh kita tetapi tanpa “media” penularannya. Secara penularan TB Paru pun dari berbagai sumber sudah disebutkan jika sudah menjalani pengobatan rutin minimal 2 minggu maka intensitas penularan sudah menurun drastis. Bahkan ketika selesai fase intensif 2 bulan, sudah tidak menular. Tetapi masyarakat awam masih seperti “template” jika Pasien TB masih menular selama masih minum obat.

Salahkah pemikiran orang awam itu? Salah, tetapi tidak juga bisa disalahkan 100%. Betapa masih kurangnya edukasi serta literasi yang valid dari masyarakat sebagai sumber informasi perihal TB. Bukan hanya dari kalangan bawah, tetapi dari kalangan terpelajar dan berposisi sekalipun. Saya pernah merasakannya sendiri.
Apa yang saya tuliskan ini berdasarkan apa yang saya alami sendiri maupun cerita dari sesama survivor di Grup Whatsapp maupun di Grup FB.

Apa yang pertama kali dirasakan ketika terdiagnosa TB ?
Kaget, shock, denial, tidak percaya, menangis, seakan dunianya terhenti dan runtuh?
Mungkin sebagian orang akan menganggap hal itu lebay. Tetapi coba posisikan jika sedang mengalaminya sendiri. Kenapa tidak dengan ketika terdiagnosa sakit lainnya? Seperti typhus, demam berdarah, usus buntu bahkan sakit jantung sekalipun.
Itu karena mindset yang sudah tertancap lama jika TB adalah penyakit yang hina dan memalukan. Penyakitnya orang miskin beda dengan jantung yang tampak “keren” karena seperti penyakitnya orang kaya. Padahal keduanya sama-sama bisa mematikan juga.
Permasalahan ketika baru terdiagnosa tak selesai sampai disitu saja, bagi sebagia pasien awal mula minum OAT (Obat Anti Tuberkulosis) adalah mimpi buruk yang lama dengan efek samping obat yang dirasakannya.
Belum lagi tidak semua pasien memiliki lingkungan yang support, baik dari sisi keluarga, lingkungan kerja bahkan dari Dokter yang menanganinya sekalipun.
Di lingkungan keluarga, sampai harus dikucilkan dipisahkan alat-alat makannya padahal sebenarnya tidak perlu seperti itu. Seperti halnya dahulu pasien TB harus diisolasi di Sanatorium, tetapi sekarang tidak perlu kan? Jaman sudah berkembang, sayang jika tidak dengan mindset kita.
Di lingkungan kerja, pasien TB bisa tidak diijinkan bekerja dalam waktu yang lama bahkan berujung dipecat. Padahal sudah jelas pemecatan karena sakit pun tidak bisa dibenarkan. Muncul juga diskriminasi dari rekan kerja sekitar yang masih awam dengan TB tetapi sok tahu modal asumsi pribadi. Beberapa pasien harus mengalami menjalani pengobatan tanpa punya penghasilan padahal dia sebagai kepala keluarga disitu. Pasti akan lebih memberatkan. Pasien TB memerlukan asupan gizi seimbang untuk mempercepat kesembuhannya, tetapi dengan tiadanya penghasilan tentu jangankan memikirkan gizinya bisa ketemu makan saja sudah sangat bersyukur.
Dari sisi Dokter, bisa ada yang tak support seperti yang di maui pasien. Mungkin bagi seorang Dokter, itu hanya pasien biasa yang datang konsul diresepkan obat lalu pulang dan dibayar. Tanpa mau mendengar cerita, keluhan dan kendala pasien selama menjalani pengobatan. Sampai ada pasien yang ingin sekali “memindahkan” setiap keluhannya kepada Dokter agar Dokternya bisa berempati dan sekedar mendengarkannya. Pasien TB bukan Pasien yang hanya akan konsul sekali lalu selesai. Tanpa Dokter sadari, hal itu bisa memicu pasien untuk putus obat karena tidak kuat merasakan efek samping tetapi tanpa solusi dari Dokter.
Pasien datang ke Dokter itu agar bisa konsultasi, kalau hanya sekedar dapat obat saja mungkin obat TB bisa di dapat di puskesmas atau apotek. Memang tidak semua Dokter seperti itu, Beberapa Dokter saya salah satunya yang tidak demikian. Betapa mereka mensupport saya baik secara medis maupun secara psikis untuk terus semangat sembuh. Betapa beruntungnya saya bisa bertemu dengan mereka walau dengan jalan yang tidak menyenangkan, harus kena TB dulu.
Membaca chat para pasien di grup yang silih berganti isinya tentang keluhan dan kendala selama menjalani pengobatan TB. Efek Samping yang begitu beragam walau tidak semua pasien akan mengalami tentunya menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi pasien tersebut. Setelah minum obat harapannya segala sakit bisa hilang seketika, tetapi tidak dengan OAT. Butuh kesabaran dan kedisiplinan selama pengobatan memang. TB bukan penyakit yang simsalabim yang sekali minum obat langsung sembuh. Bakterinya bukan musuh kacangan yang semudah itu dikalahkan. Bahkan tak jarang juga kami mendapatkan kabar duka dari rekan yang meninggal dunia. Bukan isapan jempol jika TB itu yang mati 11 orang per jamnya. Padahal penyakit ini sudah sangat lama ada.
Belum lagi dengan lamanya berobat membuat psikis pasien bisa berubah juga. Jangan bilang mereka lebay dan kurang bersyukur. Jangan menjadi toxic positivity. Sebagai manusia biasa wajar jika ada masa-masa seseorang up and down, jangan dipaksakan untuk terus tegak berdiri. Berikan kesempatan dia untuk menikmati kodratnya sebagai manusia biasa yang bisa menangis dan bisa sedih yang kemudian bisa menjadi titik balik bangkitnya untuk berdamai dan berjuang untuk kesembuhannya.
Sebuah tantangan besar ketika seorang pasien TB berjuang melawan sakitnya bakteri di tubuhnya ditambah efek samping obat yang harus diminum dalam waktu lama. Pasti tak mudah tetapi mereka harus melewatinya dan “wisuda” dengan tuntas. Maraknya berita yang bisa jadi hoax tentang pengobatan TB pun turut menjadi tantangan tersendiri. Pasien galau ditengah ketidak-kuatan efek samping obat dan lamanya pengobatan ditambah psikis dengan lingkungan yang tidak support apalagi Dokter yang kurang peduli akan mudah dipengaruhi oleh penjual obat herbal dengan iming-iming bisa menyembuhkan TB tanpa efek samping hanya dalam mingguan.Siapa yang tidak tergiur? Tidak ada yang membekali mereka dengan edukasi bahaya tidak menuntaskan pengobatan TB dengan benar.
Banyak yang lulus dengan sempurna walau tidak sedikit yang masih merasakan gejala sisa. Dan sepertinya tidak sedikit juga yang putus pengobatan, dan itu tentu beresiko lebih di kemudian hari.
Pertanyaan dari para survivor yang selalu berulang adalah soal pantangan. Makan ini boleh engga? Makan itu boleh engga? Minum ini boleh engga? Minum itu boleh engga? Yang paling kocak adalah ketika ada yang bertanya, “Sakit TB boleh makan nasi atau tidak?.”
Belum lagi yang kekinian soal vaksin. Hampir setiap hari ada yang bertanya, boleh di vaksinasi engga? Berulangkali dijelaskan juga masih terus muncul berulang pertanyaan yang sama. Banyak juga yang “mencari teman” dalam hal apa yang dirasakan. Merasakan sesuatu lalu mencari ada yang merasakan hal yang sama tidak? Apakah hal itu wajar atau tidak? Dan lain sebagainya.
Para survivor bisa sharing juga tentang asupan apa yang sebaiknya di konsumsi maupun yang dikurangi. Tak jarang pula sharing foto makanan yang mereka buat. Pembicaraan memang tak melulu soal TB, soal keluhan penyakit, keluhan efek samping obat tetapi begitu bervariasi. Karena seorang pasien jika hanya terfokus pada penyakitnya saja bisa jadi akan semakin menambah bebannya. Butuh pengalihan pikiran ke hal-hal yang ringan. Begitulah macam cara para survivor untuk “berdamai” dengan TB.
Adanya pandemi setahun ini, membuat pasien TB banyak yang takut datang ke RS. Lagi-lagi kurangnya edukasi serta sumber informasi yang benar menumbuh suburkan persepsi itu, persepsi “dicovidkan” dimana tidak terlintas saat terdiagnosa TB dulu. Tidak ada yang berpikir “di-TB-kan”. Lebih kocaknya ketika ada Pasien TB yang tidak percaya Covid-19. Dia bisa terserang TB saja kan karena imunnya sedang lemah, gimana tidak membuka peluang juga untuk mudah diserang Covid-19?
Parunya sudah berjuang melawan TB, masih dikasih “bonus” disuruh melawan Covid-19. Walau tidak menutup kemungkinan juga jatuhnya OTG tetapi tetap bukan hal yang cerdas untuk dipraktekkan dengan sengaja.
Pandemi ini seakan si Covid-19 menjadi penyusup di medan perang TB. Sehingga Indonesia pun menyalip di tikungan untuk peringkatnya di dunia menjadi kedua setelah India. TB menjadi tenggelam diketahui orang, tetapi ada juga yang membandingkan bahayanya. Lebih bahaya TB daripada Covid-19. Mendadak orang awam yang dulunya tidak peduli bahkan tidak tau TB pun turut membandingkannya. Orang jadinya bilang, TB mendadak lenyap. Kata siapa?
Tanpa orang sadari Protokol Kesehatan yang begitu booming ketika Covid-19 ini sebenarnya juga termasuk pencegahan untuk TB dan penyakit lainnya. Tapi lagi-lagi, masyarakat awam masih gagap tentang kesehatan. Ibaratnya ketika 2020 negara lain sudah bisa bikin mobil terbang, di Indonesia 2020 masih pada belajar cuci tangan.

Pasien TB Extra Paru pun banyak juga ternyata, yang notabene dulu saya pun mengira TB hanya Paru saja. Padahal dari sisi pengobatan TB Extra Paru jauh lebih lama durasinya. Tetapi sayangnya seakan “protap” administrasi pengobatan di Puskesmas hanya 6 bulan dan harus tes dahak walaupun itu TB Extra Paru. Jadi pasien sering bingung, kan tidak batuk jadi dahaknya dari mana?
Karena tidak semua pasien TB Extra Paru itu juga TB Paru, banyak yang hanya murni TB Extra Paru karena Parunya bersih. Dan mereka mendapatkan stigma yang sama, walau tidak menular sekalipun.
Bagi Pejuang TB Tulang Belakang yang operasi, perjuangannya tak hanya selesai ketika di operasi itu saja. Tetapi bagaimana menjaga postur, gerakan serta tingkahnya agar tidak beresiko terhadap pen yang terpasang. Entah resiko geser atau patah di dalam.
Pasien TB Usus pun juga tak kalah hebatnya, melalui operasi besar pemotongan usus pun ada yang mengalaminya. Begitu pula pasien TB Kelenjar yang harus rutin membersihkan abses yang keluar dari benjolannya. Pasien TB yang tergabung di grup itu ada TB Paru, TB Milier, TB Tulang Belakang, TB Tulang, TB Saluran Kencing, TB Usus, TB Otak, TB Payudara, TB Kelenjar, MDR dan lain sebagainya. Dengan durasi pengobatan yang bervariasi, mulai baru usia minggu sampai tahunan. Member WA Grup ada 230 orang. DI WA Grup lainnya membernya 140-an orang. Di FB ada sekitar 3,1 K membernya.
Apa arti TB di mata saya?
TB adalah sebuah pembelajaran mahal yang pernah saya dapatkan. Saya Spondylitis TB. Mahal tak harus identik dengan uang, walau akhirnya memang cukup menguras budget lebih. Karena TB saya “kehilangan” saya yang dulu. Saya tidak bisa lagi menjadi diri saya yang bebas melakukan apa saja. Walau sudah sembuh sekalipun sepertinya tetap belum akan bisa kembali 100% seperti sediakala. Sebuah pelajaran kesabaran yang luar biasa.
Karena TB juga saya dianggap lemah, sehingga anggapan seperti itu menjadi stigmatisasi diri saya sendiri. Saya seakan beda dengan yang lain, enak tidak dibegitukan? Tentu tidak. Ada rasa psikis yang mengurangi rasa percaya diri saya. Seakan TB akan menjadikan saya seperti terstigma penyakitan selamanya, walau saya sudah sembuh total sekalipun.
TB mengajarkan saya untuk banyak bersyukur. Bersyukur sakit yang sudah ada obatnya, bersyukur diberikan Dokter-Dokter terbaik dan perhatian, bersyukur saya masih terhitung “keajaiban” untuk ukuran TB Kategori Berat, bersyukur saya diberikan kemudahan pengobatan, bersyukur saya masih ada penghasilan, bersyukur saya bisa menikmati dekat dengan keluarga sementara, bersyukur bisa sembuh tanpa operasi, dan lain sebagainya.
Proses penerimaan saya terhadap TB ini pun tidak mudah. Berulang kali Dokter Paru kesayangan saya berkata, “Nerimo, itu kunci awal kesembuhan.”. Yang mungkin di awal hanya lewat di telinga saya saja tetapi lama-lama saya resapi juga. Karena saya sudah berniat tobat obat ketika di handle oleh beliau, jadi saya nurut pada apa yang beliau sampaikan.
Entah kenapa saya begitu susahnya “nerimo” di awal, karena bagi saya TB sudah merusak semua impian dan rencana saya. Tetapi akhirnya saya sadar, rencana Allah lah yang terbaik dan lebih indah bagi saya.
Saya mulai bisa “nerimo” ketika di Oktober 2019. Bahkan saat itu saya masih “suudzhon” dengan Dokter Paru ketika bilang saya sembuh. Saya bengong mendengarnya sambil berpikir, “Ini beneran apa engga? Masa iya Dokter Paru mau nge-prank?”.
(Sejak Juni 2020 lalu saya di handle oleh Prof Ortopaedi, melanjutkan pengobatan yang ada).
Tetapi dari situ akhirnya saya berniat mau speak-up, saya ingin mencari informasi lebih tentang TB. Bicara TB itu tidak akan ada habisnya.
Saya sekarang dalam proses menuliskan cerita kisah nyata saya dalam melalui hari “berdamai” dengan Spondylitis TB, awalnya hanya sekedar buat tulisan untuk Hari TB Sedunia 2020 lalu. Tetapi dari Dokter Paru saya menyarankan agar dibuat menjadi sebuah buku. Buku ini akan bisa saya terbitkan ketika saya sudah selesai pengobatan nanti. Sebagian dari penjualan buku ini akan saya gunakan untuk membantu pemenuhan gizi bagi pasien TB yang kekurangan. Walau selama ini juga saya sudah melakukan itu meskipun tidak banyak.
Saya ingin membantu mereka sebisanya. Setidaknya saya sering update informasi tentang TB dan bisa di sharingkan dengan mereka. Menepis informasi yang salah dan mencarikan sumber validnya.
TB menjadi PR kita bersama, dengan kita melakukan protokol kesehatan yang baik dan menerapkan Pola Hidup Bersih dan Sehat maka tingkat penularan TB bisa agak ditekan. Memang perlu kerja keras semua pihak yang peduli. Perangi penyakitnya bukan orangnya.
STIGMA menjadi PR yang tak kalah pentingnya. Karena stigma yang berkembang bisa sangat menghambat penuntasan TB di Indonesia. Stigma Diri, menganggap dirinya akan dijauhi dan pembawa penyakit akhirnya malu dan enggan untuk pakai masker dan berobat yang benar. Stigma lingkungan, Pasien akan merasakan tindakan pengucilan atau pembedaan dan diskriminasi di sekitarnya bahkan di layanan kesehatan sekalipun.
Janganlah menambahi beban psikis pasien dengan kata-kata tidak perlu dari kalian yang tidak memahami TB, berempati itu tidak harus mengalami. Saat orang dengan mudahnya misal mengatakan, “Kamu itu sakit karena banyak suudzhon atau kurang ibadah bla bla..”
Apakah orang itu paham jika TB bisa menyerang segala usia, bayi sekalipun. Tahu apa seorang bayi tentang dosa dan suudzhon?
Terkadang orang sibuk berasumsi jika ada di sekitarnya kena TB, tetapi jika mau dirunut ternyata bisa jadi orang tersebut sendiri yang turut “berperan” melemahkan fungsi Paru orang lain sehingga mudah diserang Bakteri TB yaitu misal dengan merokok di dekatnya. Tetapi apakah orang tersebut sadar dan mau disalahkan? Tentu tidak.
Bakteri yang tak kasat mata ini sudah sanggup memporak-porandakan kehidupan seseorang. Tidak hanya fisik tetapi juga psikis sampai ke sendi kehidupan semuanya.

Semoga dengan semangat Hari TB Sedunia 2021 ini Indonesia Bebas TB 2030 bisa diwujudkan Bersama.
Ternyata tidak semua yang imut itu menggemaskan, si Myco ini imutnya menyebalkan..
Stop STIGMA, Salam Sehat, Salam #TOSSTB
Selamat Hari Tuberkulosis Sedunia 2021
